Sebelum menuju kelas untuk kuliah, lelaki itu sempat bersalam-salaman dengan beberapa jamaah lain. Dengan raut wajah yang bersahaja, ia sedekahkan senyuman terhadap semua orang yang ditemuinya. Ucapan salam pun ditujukannya kepada para akhwat yang ditemuinya di depan masjid. Lelaki yang bernama Ali itu kemudian segera memasuki ruang kelasnya. Ia duduk di bangkunya dan mengeluarkan buku berjudul “Langitpun Tergoncang’.
Buku berkisar tentang hari akhirat itu dibacanya dengan tekun. Sesekali ia mengerutkan dahi dan dan sesekali ia tersenyum simpul. Ali sangat suka membaca dan meyukai ilmu Allah yang berhubungan dengan hari akhir kerana dengan demikian ia dapat membangkitkan rasa cinta akan kampung akhirat dan tidak terlalu cinta pada dunia. Prinsipnya adalah “Bekerja untuk dunia seakan hidup selamanya dan beribadah untuk akhirat seakan mati esok.”
Sejak setahun belakangan ini, Ali selalu berusaha mencintai akhirat. Sunnah Rasululah saw ia gigit kuat dengan gigi gerahamnya agar tak terjerumus kepada bid’ah. Ali selalu menyibukkan diri dengan segala Islam. Ia sangat membenci sekularisme kerana menurutnya, sekularisme itu tidak masuk akal. Bukankah ummat Islam mengetahui bahwa yang menciptakan adalah Allah swt, lalu mengapa mengganti hukum Tuhannya dengan hukum ciptaan dan pandangan manusia?
Bukankah yang menciptakan lebih mengetahui keadaan fitrah ciptaannya? Allah swt yang menciptakan, maka sudah barang tentu segala sesuatunya tak dapat dipisahkan dari hukum Allah. Katakan yang halal itu halal dan yang haram itu haram, kerana pengetahuan yang demikian datangnya dari sisi Allah.
Sementara Ali membaca bukunya dengan tekun, dua mahasiswi yang duduk tak jauh dari Ali bercakap-cakap membicarakan Ali. Mereka menyukai sekali, Ali yang amat tampan dan juga pintar, namun belum mempunyai kekasih, padahal banyak mahasiwi cantik di kampus ini yang suka padanya. Tapi tampaknya Ali tidak ambil peduli. Sikapnya itu membuat para wanita menjadi penasaran dan justru banyak yang ber-tabarruj di hadapannya. Kedua wanita itu terus bercakap-cakap hingga lupa bahwa mereka telah sampai kepada tahap ghibah.
Ali memang tak mahu ambil tahu tentang urusan wanita kerana ia yakin jodoh di tangan Allah swt. Namun tampaknya iman Ali kali ini benar-benar diuji oleh Allah SWT. Ali menutup bukunya ketika pensyarah telah masuk kelas. Tampaknya sang pensyarah tak sendirian, di belakangnya ada seorang mahasiswi yang kelihatan malu-malu memasuki ruang kelas dan segera duduk di sebelah Ali. Ali merasa belum pernah melihat gadis ini sebelumnya.
Saat pensyarah mengabsen satu persatu, tahulah Ali bahwa gadis itu bernama Nisa. Tanpa sengaja Ali memandang Nisa. Jantungnya berdegup keras. Bukan lantaran suka, tapi kerana Ali selalu menundukkan pandangan pada semua wanita, sesuai perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan Rasulullah saw dalam hadits. “Astaghfirullah… !”, Ali beristighfar. Pandangan pertama adalah anugerah atau lampu hijau. Pandangan kedua adalah lampu kuning. Ketiga adalah lampu merah. Ali sangat khawatir bila dari mata turun ke hati kerana pandangan mata adalah panah-panah iblis.
Pada pertemuan kuliah selanjutnya, Nisa yang sering duduk di sebelah Ali, kian merasa aneh kerana Ali tak pernah menatapnya kala berbicara. Ia lalu menanyakan hal itu kepada Utsman, teman dekat Ali. Mendengar penjelasan Utsman, tumbuh rasa kagum Nisa pada Ali. “Aku akan tundukkan pandangan seperti Ali”, tekad Nisa dalam hati.
Hari demi hari Nisa mendekati Ali. Ia banyak bertanya tentang ilmu agama kepada Ali. Kerana menganggap Nisa adalah ladang da’wah yang potensial, Ali menanggapi dengan senang hati. Hari berlalu… tanpa sengaja Ali memandang Nisa.
Ada bisikan yang berkata, “Sudahlah pandang saja, lagipun Nisa itu tidak terlau cantik.. Jadi mana mungkin kamu jatuh hati pada gadis seperti itu”
Namun bisikan yang lain muncul, “Tundukkan pandanganmu. Ingat Allah! Cantik atau tidak, dia tetaplah wanita.” Ali gundah.
“Kurasa, jika memandang Nisa, tak akan membangkitkan syahwat, jadi mana mungkin mata, pikiran dan hatiku ini berzina.”
Sejak itu, Ali terus menjawab pertanyaan-pertanyaan Nisa tentang agama, tanpa ghadhul bashar kerana Ali menganggap Nisa sudah seperti adik… , hanya adik. Ali dan Nisa kian dekat. Banyak hal yang mereka diskusikan. Masalah ummat maupun masalah agama. Bahkan terlalu dekat… Hampir setiap hari, Ali dapat dengan bebas memandang Nisa.
Hari demi hari, minggu demi minggu, tanpa disadarinya, ia hanya memandang satu wanita, NISA! Kala Nisa tak ada, terasa ada yang hilang. Tak ada teman diskusi agama…, tak ada teman berbicara dengan tawa yang renyah.., tak ada…wanita. Lub DUBB!!! Jantung Ali berdebar keras, bukan kerana takut melanggar perintah Allah, namun kerana ada yang berdesir di dalam hati…kerana ia… mencintai Nisa. Bisikan-bisikan itu datang kembali…
“Jangan biarkan perasaan ini tumbuh berkembang. Cegahlah semampumu! Jangan sampai kamu terjerumus zina hati…! Cintamu bukan kerana Allah, tapi kerana syahwat semata.”
Tapi bisikan lain berkata, “Cinta ini indah bukan? Memang indah! Sayang sekali jika masa muda dilewatkan dengan ibadah saja. Bila lagi kamu dapat melewati masa kampus dengan manis. Lagipula jika kamu berpacaran kan secara sihat, secara Islami..
‘Benar juga..” Ali mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Manalah ada pacaran Islami, bahkan hatimu akan berzina dengan hubungan itu. Matamu juga berzina kerana memandangnya dengan syahwat. Hubungan yang halal hanyalah pernikahan. Selain itu tidak!!! Bukankah salah satu tujuan pernikahan adalah untuk mengubur zina?”, bisikan yang pertama terdengar lagi.
Terdengar lagi bisikan yang lain, “Terlalu banyak aturan! Begini zina, begitu zina. Jika langsung menikah, bagaimana jika tidak sesuai? Bukankah harus ada beramah-mesra dulu agar saling mengenal! Apatah lagi kamu baru kuliah tahun pertama. Nikah susah!”
Terdengar bantahan, “Benci kerana Allah, cinta kerana Allah. Jika pernikahanmu kerana Allah, Insya Allah, Dia akan redha padamu, dan akan tenteram keluargamu. Percayalah pada Tuhan penciptamu! Allah telah tentukan jodohmu. Contohlah Rasululah SAW, hubungan beliau dengan wanita hanya pernikahan.”
Bisikan lain berkata. “Bla.., bla.., Ali,… masa muda.., masa muda…, jangan sampai disia-siakan, rugi!”
Ali berfikir keras. Kali ini imannya benar-benar dilanda godaan hebat. Syaitan telah berhasil memujuknya dengan perangkapnya yang selalu berjaya sepanjang zaman, iaitu wanita. Ali mengangkat gagang telefon. Jari- jarinya bergetar menekan nomor telepon Nisa.
“Aah.., aku tidak berani.” Ali menutup telefon.
Bisikan itu datang lagi, “Menyatakannya, lewat surat saja, supaya romantis…!”
“Aha! Benar! “ Ali mengambil selembar kertas dan menuliskan isi hatinya. Ia bercadang akan memberikan kepada teman rapat Nisa. Jantung Ali berdebar ketika dari kejauhan ia melihat Nisa terlihat menerima surat dari temannya dan membaca surat itu.
Esoknya, Utsman mengantarkan surat balasan dari Nisa untuk Ali, lalu Utsman berkata, “Nisa hari ini sudah pakai jilbab, dia jadi cantik lah. Sudah jadi akhawwat!” Ali terkejut mendengarnya, namun rasa penasarannya membuatnya lebih memilih untuk membaca surat itu terlebih dahulu daripada merenungi ucapan Ustman tadi. Ali membaca surat itu dengan sungguh-sungguh. Ia benar-benar tak menyangka akan penolakan yang bersahaja namun cukup membuatnya merasa ditampar keras.
Nisa menuliskan beberapa ayat dari Al Qur’an, isinya : “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An Nuur : 30)
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.”(QS. Al Mu’minuun : 19).
Ali menghela nafas panjang… Astaghfirullah… Astaghfirullah… Hanya ucapan istighfar yang keluar dari bibirnya. Pandangan khianatku sungguh terlarang. Memandang wanita yang bukan muhrim. Ya Allah… kami dengar dan kami taat. Astaghfirullah…
(Judul asli: "Kala Iman Tergoda", dengan sedikit pembetulan. Pernah diterbitkan di Bulletin Biru SMUNSA Bogor No. 01/I/23 Shafar 1421 H)
No comments:
Post a Comment